Sebuah laporan baru mengungkapkan bahwa selama tujuh bulan pertama tahun 2025, terdapat 49 warga dari Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar yang digigit oleh ular tanah di Kabupaten Lebak, Banten. Dari jumlah tersebut, tujuh orang di antaranya meninggal dunia akibat tidak tersedianya antibisa untuk mengobati gigitan ular tersebut.
Insiden ini terjadi ketika warga Baduy yang sedang membuka ladang untuk masa tanam baru. Ular tanah sangat sering ditemui di ladang-ladang yang tidak terawat, sehingga mereka kerap sulit terlihat karena tertutup dedaunan kering atau batang kayu yang berserakan.
Kebiasaan warga Baduy yang bekerja tanpa alas kaki dan sarung tangan menambah risiko mereka terhadap serangan ular yang ada di sekitaran ladang mereka.
Peningkatan Kasus Gigitan Ular yang Meningkat Drastis
Melihat tingginya angka korban pada tahun ini, terdapat indikasi bahwa terjadi peningkatan populasi ular di alam yang diikuti dengan peningkatan kasus gigitan pada manusia. Peneliti dari Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan mengonfirmasi bahwa dari 2018 hingga 2023, ular kobra Jawa menjadi penyebab terbesar kasus gigitan ular.
Bisa dari ular kobra ini sangat berbahaya, menyebabkan nekrosis dan pembengkakan, serta memiliki efek kardiotoksik dan neurotoksik. Selain kobra, ular tanah juga menyumbang banyak kasus gigitan yang terjadi.
Awalnya, para peneliti memperkirakan ada sekitar 130-135 ribu kasus gigitan ular setiap tahun di Indonesia. Namun, setelah menganalisis data dari Kabupaten Lebak, ditemukan sebanyak 1.036 kasus gigitan ular tanah pada tahun 2023, yang menunjukkan bahwa jumlah kasus sebenarnya jauh lebih tinggi.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Populasi Ular
Peningkatan kasus gigitan ular ini diduga berhubungan dengan perubahan iklim yang berpengaruh pada habitat ular. Ular adalah hewan berdarah dingin yang sangat tergantung pada suhu dan kelembaban untuk kembang biaknya, sehingga suhu yang lebih hangat dapat meningkatkan aktivitas mereka.
Kabupaten Lebak sendiri telah mengalami beberapa kejadian bencana alam seperti banjir dan longsor akibat cuaca ekstrem. Kondisi ini sering membuat ular mencari tempat yang lebih aman, termasuk habitat yang dekat dengan permukiman manusia.
Pemukiman manusia dapat menjadi lokasi yang menarik bagi ular, terutama spesies seperti ular tanah, yang mencari lingkungan yang aman dari banjir dan predasi. Hal ini menciptakan konflik antara ular dan manusia yang semakin meningkat.
Konflik Ular-Manusia di Seluruh Indonesia
Di luar Banten, jumlah kasus penemuan ular, anakan, dan telur juga meningkat sangat signifikan. Studi menunjukkan bahwa antara 2015 hingga 2023, konflik antara manusia dan ular terjadi di 38 provinsi di Indonesia.
Riset ini mencatat interaksi yang melibatkan 109 spesies ular dari berbagai marga dan famili, menunjukkan betapa luasnya distribusi ular di tanah air. Ular python jenis sanca batik adalah salah satu spesies yang sering ditemukan merangsek ke permukiman akibat mencari makanan.
Paling sering, kobra Jawa dilaporkan sebagai spesies yang dibunuh oleh warga karena ketakutan, padahal ular tanah dan ular hijau juga terlibat dalam banyak insiden gigitan. Dengan perkembangan teknologi, pelaporan kasus gigitan ular sekarang menjadi lebih mudah melalui media sosial.
Amir Hamidy, seorang herpetolog, menyatakan bahwa perubahan suhu dan kelembaban yang ekstrem akan terus mempengaruhi baik populasi ular maupun insiden konflik ular-manusia di masa depan. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat akan keberadaan ular di sekitar mereka perlu ditingkatkan.
Studi di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan suhu satu derajat Celsius dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kasus gigitan ular sekitar 6%. Ular menjadi lebih aktif dalam cuaca hangat, yang berakibat pada interaksi lebih sering dengan manusia.
Konsekuensi dari meningkatnya interaksi ini adalah kebutuhan akan penyediaan antibisa ular yang memadai. Dalam kasus tujuh warga Baduy yang meninggal, banyak di antaranya tidak mendapatkan perawatan yang seharusnya karena tidak tersedianya obat penawar yang diperlukan.
Penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk memperhatikan dan mengatur distribusi antibisa, terutama untuk spesies ular yang sering terlibat dalam gigitan terhadap manusia.
Dari data terbaru, produksi antibisa memang masih jauh dari yang ideal, dengan kapasitas yang terbatas dan belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Hal ini jelas menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama mencari solusi yang efektif.