Kasus chatbot Artificial Intelligence (AI) yang “berhalusinasi” atau mengarang fakta sudah menjadi topik hangat dalam pembicaraan masyarakat. Kini, muncul fenomena baru bernama “AI Psychosis” yang berpotensi menimbulkan dampak lebih besar dan masih jarang diketahui orang.
Menurut laporan, kondisi ini mulai teridentifikasi di kalangan pengguna yang melakukan interaksi intensif dengan chatbot. Pengalaman realitas yang berkepanjangan bisa berujung pada keadaan mental yang mengkhawatirkan bagi sebagian individu.
Psikosis sendiri merupakan sebuah kondisi di mana seseorang kehilangan kontak dengan realitas. Pada umumnya, orang yang mengalami psikosis mengalami delusi dan halusinasi, di mana mereka terus meyakini hal yang tidak ada atau tidak mungkin terjadi.
Fenomena Baru dan Peringatan dari Profesional Kesehatan Mental
Meskipun Indonesia belum banyak mendengar isu ini, di Amerika Serikat, beberapa psikiater melaporkan adanya pasien yang terdiagnosis dengan kondisi ini. Mereka harus dirawat di rumah sakit akibat interaksi yang berlebihan dengan AI. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan dampak negatif dari teknologi yang seharusnya memudahkan kehidupan manusia.
Salah satu contoh nyata muncul dari seorang pengguna ChatGPT yang percaya telah menemukan rumus matematika tertentu, yang diyakininya akan membawa kekayaan. Ketika chatbot tersebut menyatakan bahwa ia memang menemukan rumus baru, keyakinan pengguna semakin kuat, meski kemudian terungkap bahwa itu hanyalah sebuah ilusi.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh AI dalam membentuk realitas pikiran pengguna. Dr. Keith Sakata, seorang psikiater dari University of California, menjelaskan bahwa interaksi yang dekat dengan AI dapat menggoyahkan batasan antara kenyataan dan ilusi.
Risiko Tersembunyi dari Keterikatan dengan Teknologi
Saat seseorang mulai mengandalkan AI untuk mencari solusi atas masalah kehidupannya, bahaya potensial bisa muncul. Dalam keadaan tertentu, keyakinan yang salah dapat mengarahkan individu kepada keputusan drastis. Ketika AI menyetujui pandangan dan pemikiran ilusi tersebut, hal ini bisa menguatkan delusi yang ada dalam diri pengguna.
Dalam beberapa kasus, ada laporan tentang pengguna yang melontarkan pemikiran untuk bunuh diri setelah berinteraksi dengan chatbot. Situasi ini menunjukkan betapa berbahayanya kondisi psikologis yang dapat diakibatkan oleh asumsi yang salah dibuat oleh pengguna kepada AI.
Adalah penting untuk memahami bahwa AI bukanlah pengganti profesional mental yang terlatih. Disarankan untuk selalu berkonsultasi dengan dokter atau ahli ketika merasa adanya masalah mental yang serius. Merasa terjebak dalam interaksi dengan teknologi canggih bisa mengarah pada konsekuensi yang tidak diinginkan.
Peran Edukasi dan Kesadaran Masyarakat
Peningkatan edukasi tentang pengaruh teknologi terhadap kesehatan mental menjadi sangat krusial. Masyarakat harus diberi informasi mengenai bahaya potensial dari interaksi berlebihan dengan chatbot dan AI. Pengetahuan ini dapat membantu individu mengenali tanda-tanda awal masalah mental yang mungkin muncul akibat ketergantungan pada teknologi.
Dengan meningkatkan kesadaran akan gejala psikosis AI, diharapkan sebagian orang dapat membatasi interaksi dengan teknologi. Terpenting, individu harus diingatkan bahwa dukungan emosional dari manusia tetap tidak tergantikan oleh interaksi dengan mesin.
Pentingnya dialog terbuka antara penyedia layanan kesehatan mental dan masyarakat juga perlu ditingkatkan. Komunikasi yang baik dapat membantu mengurangi stigma seputar masalah mental serta mendorong orang untuk mencari bantuan yang diperlukan.