Dunia saat ini tengah mengalami perubahan signifikan menuju penggunaan energi bersih. Dengan adanya penurunan biaya energi terbarukan, peningkatan investasi hijau, serta tekanan akibat krisis iklim, banyak negara berupaya beralih dari sumber energi fosil menuju opsi yang lebih ramah lingkungan.
Pusat perhatian kini tertuju pada bagaimana transisi ini bisa diimplementasikan secara efisien. Selwin Charles Hart, Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim, menekankan bahwa meski ada perkembangan positif, tantangan dalam transisi energi bersih masih sangat besar.
Hart menjelaskan bahwa laporan dari Badan Energi Terbarukan Internasional menunjukkan bahwa energi terbarukan mulai dilirik secara serius. Ini ditandai dengan pemasalahan dan akselerasi penggunaan energi terbarukan di berbagai belahan dunia.
Menggali Peluang Energi Bersih di Seluruh Dunia
Energi bersih memiliki potensi besar dalam menciptakan keadilan sosial. Hart menyatakan bahwa energi terbarukan dapat memberikan akses kepada 700 juta orang di dunia yang hingga kini masih belum menikmatinya.
Selama dua abad terakhir, manusia telah bergantung pada energi fosil, tetapi kesempatan kini terbuka untuk meraih akses universal ke energi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, terutama di negara-negara yang masih mengandalkan bahan bakar fosil.
Salah satu isu signifikan yang disampaikan Hart adalah alokasi subsidi, di mana subsidi untuk energi fosil masih jauh lebih besar dibandingkan dengan energi bersih. Laporan IEA menunjukkan rasio 9:1 dalam favoritisme subsidi energi fosil dibandingkan dengan energi terbarukan.
Situasi ini tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga negara berkembang, termasuk Indonesia. Masih ada ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis batubara yang menjadi sumber utama energi.
Implementasi kebijakan subsidi yang salah arah ini sangat memengaruhi upaya transisi menuju energi bersih. Menurut Hart, ada urgensi untuk menghentikan subsidi pada batubara agar keadilan dalam penyediaan energi terbarukan bisa dicapai.
Tantangan dan Peluang Indonesia dalam Transisi Energi
Indonesia menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, namun data terbaru menunjukkan capaian masih di angka 13,2%. Meski pemerintah berkomitmen pada sumber energi bersih, penggunaan batubara masih mendominasi.
Berbeda dengan Indonesia, Vietnam berhasil menempati posisi teratas di ASEAN terkait indeks transisi energi global berkat kebijakan dan investasi yang agresif. Malaysia juga menunjukkan kemajuan dengan keputusan untuk menghentikan pembangunan pembangkit berbasis batubara.
Namun, negara-negara seperti Thailand dan Filipina masih berjuang dalam mendiversifikasi sumber energi mereka. Filipina menargetkan 50% dari bauran energinya harus berasal dari energi bersih pada tahun 2040.
Di sisi lain, China juga berperan besar di kawasan Asia dengan memiliki lebih dari 70% kapasitas energi terbarukan, meskipun menjadi emitor terbesar dunia. Hart menjelaskan bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, harus mengikuti jalur unik dalam transisi tersebut.
Keunggulan energi terbarukan terlihat dari sisi waktu dan biaya. Pembangkit listrik berbasis batu bara membutuhkan waktu lebih lama untuk dibangun dibandingkan dengan energi terbarukan yang hanya memerlukan satu hingga dua tahun.
Memastikan Keadilan dalam Transisi Energi
Dalam konteks transisi yang berkeadilan, Hart menekankan pentingnya menyediakan dukungan bagi masyarakat yang rentan. Ini termasuk memberikan pelatihan bagi pekerja di sektor energi fosil agar mereka dapat beralih ke sektor energi bersih.
Sementara itu, seorang ahli energi dari Universitas Indonesia menyuarakan bahwa meskipun Indonesia memiliki kebijakan ambisius, tantangan masih ada dalam pengimplementasiannya. Kebijakan antar sektor perlu disinkronkan agar perubahan signifikan dapat terwujud.
Hart juga menggarisbawahi bahwa meskipun Indonesia mempunyai banyak potensi, reformasi struktur industri energi yang berbasis ekstraktif diperlukan. Investasi besar sangat penting untuk memastikan integrasi energi terbarukan yang lebih cepat.
Negara-negara maju seperti Swedia dan Denmark menjadi contoh berhasil dalam transisi energi bersih. Mereka telah menunjukkan bahwa sistem energi yang efisien bisa dijalankan dengan dukungan kebijakan yang tepat.
Sementara itu, tantangan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah menciptakan kepastian regulasi. Hart menyatakan bahwa kejelasan dalam kebijakan adalah prasyarat untuk menarik minat investor dalam bidang energi bersih.
Kesempatan dan Harapan untuk Masa Depan Energi
Transisi energi menjadi peluang besar bagi Indonesia dari berbagai aspek—ekonomi, keberlanjutan, dan keadilan sosial. Hart menegaskan bahwa komitmen politik dan konsistensi kebijakan sangat penting dalam perjalanan ini.
Dari pandangan Hart, kegagalan bukan sesuatu yang harus terjadi. Sebaliknya, saat ini teknologi yang ada terus berkembang untuk mempercepat transisi. Energi terbarukan kini lebih terjangkau dan lebih mudah diakses dibandingkan sebelumnya.
Ia menekankan perlunya menciptakan kondisi yang mendukung agar transisi energi global bisa terwujud. Tantangan-tantangan dalam proses transisi ini memang ada, namun juga ada optimisme untuk mencapai tujuan energi bersih dalam satu atau dua dekade mendatang.
Akankah kita mengingat momen ini dengan pertanyaan “mengapa kita tidak melakukan ini lebih cepat?” Itulah harapan dan tantangan yang dihadapi saat ini.