Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengemukakan bahwa penanganan kebakaran hutan dan lahan tidak dapat hanya mengandalkan operasi modifikasi cuaca (OMC) saat musim kemarau. Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, efektivitas OMC menurun ketika potensi pertumbuhan awan hujan sangat rendah.
Hal ini terjadi karena tidak ada awan yang dapat disemai untuk menghasilkan hujan. Oleh karena itu, strategi penanganan kebakaran hutan dan lahan perlu dirumuskan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan berlapis.
Dwikorita menegaskan bahwa pendekatan tunggal dalam penanganan karhutla terbukti tidak cukup. Proses penanganan tersebut harus melibatkan berbagai upaya intensif dengan memperkuat pengawasan serta pencegahan di area-area yang berisiko.
Pentingnya Pemantauan Cuaca dan Curah Hujan pada Kebakaran Hutan
BMKG menekankan pentingnya keterkaitan antara curah hujan dan tingkat kemudahan lahan terbakar. Analisis terhadap data curah hujan menunjukkan bahwa semakin rendah curah hujan, semakin tinggi risiko kekeringan pada lapisan bahan bakar di permukaan tanah.
Risiko yang meningkat ini sangat mengkhawatirkan, terutama di saat terkena musim kemarau. Karenanya, pemantauan curah hujan bukan hanya untuk memprediksi potensi hujan, tetapi juga untuk menentukan fase-fase rawan kebakaran hutan dan lahan.
Dalam kondisi yang tidak mendukung, dimana potensi hujan sangat rendah, BMKG merekomendasikan intervensi yang tidak bergantung pada OMC, seperti meningkatkan patroli dan pencegahan di titik-titik rawan kebakaran.
Analisis Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Salah satu faktor yang berpengaruh pada keberhasilan OMC adalah cuaca mikro dan makro. Pertumbuhan awan hujan sangat dipengaruhi oleh berbagai dinamika atmosfer, seperti aktivitas gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator.
Faktor lainnya juga mencakup suhu muka laut yang hangat serta kelembaban udara yang berubah-ubah. Semua faktor ini berkontribusi pada seberapa besar potensi awan hujan bisa berkembang, terutama di wilayah-wilayah yang rawan, seperti Sumatera dan Kalimantan.
Ketika tidak ada awan yang cukup untuk disemai, OMC menjadi tidak efektif, bahkan di saat risiko kebakaran hutan sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu kesadaran yang lebih mendalam akan pentingnya pengelolaan kebakaran yang berbasis data cuaca dan lingkungan.
Fase Kritis Musim Kemarau dan Penanganan Karhutla
Berdasarkan pengamatan BMKG, periode akhir Juli hingga awal Agustus merupakan fase kritis dalam penanganan kebakaran hutan. Di sinilah tindakan pencegahan dan pengawasan harus ditingkatkan, terutama di wilayah-wilayah yang rawan seperti Sumatera dan Kalimantan.
Prediksi cuaca menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan awan di Sumatera akan meningkat antara 29 hingga 31 Juli, sebelum kembali menurun di awal Agustus. Sementara itu, di Kalimantan, pertumbuhan awan juga menunjukkan pola serupa dengan puncak yang akan terjadi pada 3 hingga 4 Agustus.
Seluruh pemangku kepentingan di daerah ini diharapkan untuk meningkatkan kewaspadaan dan mempercepat langkah-langkah mitigasi kebakaran, seperti mobilisasi sumber daya untuk pengendalian dan pencegahan kebakaran yang bersifat proaktif.
Dalam upaya mendukung program mitigasi, BMKG telah bekerja sama dengan berbagai instansi, seperti BNPB dan TNI, untuk melaksanakan OMC di provinsi-provinsi yang paling rentan. Dengan rata-rata efektivitas mencapai antara 85 hingga 100 persen, upaya ini bertujuan untuk meminimalkan potensi kebakaran hutan yang dapat merugikan lingkungan dan masyarakat.
Seiring dengan meningkatnya frekuensi kebakaran hutan, penting bagi semua pihak untuk terus berbenah dan mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam pencegahan karhutla. Upaya kolektif dan berbasis data adalah langkah kunci dalam menghadapi tantangan yang dihadapi.