Fenomena Gerhana Bulan, yang sering disebut purnama jagung, memengaruhi gravitasi bulan dan matahari terhadap air laut. Peristiwa ini dapat memicu ancaman banjir rob di kawasan pesisir, terutama di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kepala Stasiun Meteorologi Zainuddin Abdul Madjid, Satria Topan Primadi, mengeluarkan peringatan dini terkait potensi banjir rob. Ia menegaskan agar masyarakat tetap waspada dan siaga pada rentang waktu 7 hingga 13 September 2025.
“Peringatan ini sangat penting untuk mencegah dampak dari pasang laut maksimum,” ungkapnya dalam rilis resmi di Mataram, Minggu (7/9).
Berdasarkan laporan prakiraan cuaca di Lembar, Lombok Barat, BMKG mencatat arah angin dari tenggara hingga selatan dengan kecepatan 5 sampai 20 knots (sekitar 9 hingga 37 km/jam). Hal ini berpotensi memengaruhi kondisi laut dan meningkatkan risiko banjir rob.
Dari prakiraan yang sama, tinggi gelombang laut di daerah tersebut diprediksi mencapai 4 hingga 6 meter. Pasang maksimum dikatakan dapat lebih dari 1,8 meter, dengan waktu pasang berlangsung dari pukul 01.00 hingga 12.00 WITA.
Untuk wilayah Sape di Kabupaten Bima, BMKG juga meramalkan kondisi serupa. Angin diperkirakan bertiup dari arah tenggara hingga selatan dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda.
Gelombang laut di perairan Bima dikatakan berkisar antara 1,25 hingga 2,5 meter, dengan pasang maksimum yang bisa mencapai lebih dari 1,9 meter, pada waktu pasang antara pukul 01.00 dan 14.00 WITA.
Beberapa komunitas yang berpotensi terpengaruh banjir rob ini mencakup Pulau Lombok. Diantaranya ada Ampenan, Sekarbela, Gerung, Lembar, Pemenang, Jerowaru, dan Labuhan Lombok.
Tak kalah berpotensi, Pulau Sumbawa juga menjadi sorotan dengan kawasan pesisir seperti Sumbawa, Labuhan Badas, Palibelo, Woha, Bolo, Langgudu, Soromandi, Sape, Rasanae Barat, Hu’u, dan Asakota yang mungkin terancam.
Pengaruh Gerhana Bulan terhadap Gejala Alam di NTB
Gerhana bulan, yang sering dianggap fenomena langka, memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan pada lingkungan. Salah satu dampaknya adalah efek gravitasi yang ditimbulkan oleh posisi bulan dan matahari.
Ketika bulan berada dalam fase purnama, tarikan gravitasi yang lebih kuat dapat memicu fenomena pasang surut yang ekstrem. Ini berpotensi memperburuk kondisi di pesisir, terutama yang sudah rawan banjir.
Dalam konteks NTB, kondisi iklim yang kerap diwarnai cuaca ekstrim menjadikan fenomena ini lebih relevan. Sebagai wilayah yang terletak di jalur gempa dan memiliki tebing pantai, NTB perlu strategis dalam menghadapi ancaman banjir rob.
Secara historis, masyarakat NTB telah menghadapi banjir akibat perubahan iklim dan aktivitas alam. Sehingga, pengetahuan tentang perilaku bulan dan dampaknya sangat penting untuk pengelolaan risikonya.
Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai fenomena ini juga sangat vital. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak hanya waspada, tetapi juga memiliki pemahaman yang lebih baik tentang cara menghadapi banjir rob.
Fase Purnama dan Tradisi Masyarakat Setempat
Fase purnama dikenal sebagai corn moon di beberapa budaya, menandakan waktu panen jagung di Amerika Utara. Di Nusa Tenggara Barat, tradisi lokal sering kali mengaitkan purnama dengan serangkaian acara budaya dan ritual pertanian.
Banyak masyarakat setempat memanfaatkan fase bulan untuk melakukan ritual syukur atas hasil panen mereka. Hal ini menunjukkan keterikatan budaya terhadap fenomena alam yang lebih besar.
Ritual dan perayaan ini, meskipun kaya akan tradisi, harus disertai dengan pemahaman ilmiah. Memadukan tradisi dengan pengetahuan cuaca akan memberikan manfaat ganda bagi masyarakat.
Implementasi pengetahuan tentang gerhana bulan dan siklus musim hasilnya tidak hanya signifikan untuk sektor pertanian saja. Namun, hal ini juga bermanfaat dalam mempersiapkan diri menghadapi potensi bencana.
Kegiatan edukasi bisa berupa seminar atau lokakarya di desa-desa setempat. Ini membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan perubahan yang diakibatkan oleh fenomena alam seperti gerhana bulan.
Pentingnya Kesiapan Menghadapi Banjir Rob di NTB
Kesiapan menghadapi banjir rob memerlukan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Infrastruktur yang baik sangat penting untuk mendukung upaya mitigasi risiko banjir.
Pengadaan sistem peringatan dini dan penyediaan informasi cuaca yang akurat dapat membantu masyarakat mengambil langkah-langkah preventif. Hal ini termasuk evakuasi bila diperlukan, serta penyiapan tempat penampungan.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengevaluasi potensi daerah rentan yang berisiko menghadapi banjir rob. Dengan pemetaan yang tepat, langkah-langkah mitigasi dapat lebih terarah dan efektif.
Partisipasi aktif masyarakat dalam program-program terkait mitigasi risiko juga sangat dibutuhkan. Semakin banyak masyarakat terlibat, semakin siap mereka dalam menghadapi bencana.
Melalui kolaborasi, harapan untuk mengurangi dampak buruk dari banjir rob di masa mendatang menjadi lebih besar. Oleh karena itu, kesadaran dan informasi yang tepat sangatlah krusial.